Riksa uji adalah pemeriksaan dan pengujian berkala yang wajib dilakukan terhadap semua ABAA untuk memastikan alat tersebut aman dioperasikan. Sayangnya, banyak perusahaan menganggap prosedur ini sebagai formalitas yang membuang waktu dan biaya. Padahal, pengabaian riksa uji adalah tindakan berbahaya yang secara perlahan mengubah alat kerja menjadi "bom waktu" yang siap meledak kapan saja.
Bagaimana sebuah kelalaian kecil bisa berujung pada tragedi? Berikut adalah alur proses kesalahan yang sering terjadi, yang diawali dari pengabaian riksa uji hingga puncaknya, yaitu kecelakaan kerja.
Semua dimulai dari sini. Entah karena penghematan biaya, kurangnya kesadaran, atau rumitnya birokrasi, perusahaan memilih untuk tidak melakukan riksa uji sesuai jadwal yang ditentukan. Sertifikat Laik Operasi (SLO) yang seharusnya diperbarui setiap tahun dibiarkan kedaluwarsa. Alat tetap dioperasikan setiap hari, tanpa disadari bahwa kondisinya terus memburuk.
Tanpa riksa uji, komponen-komponen vital alat mengalami keausan dan kerusakan secara perlahan tanpa terdeteksi. Masalah-masalah kecil yang awalnya tidak signifikan, seperti:
Tali baja pada crane yang mulai menipis dan terurai.
Sistem hidrolik forklift yang mengalami kebocoran halus.
Kampas rem yang menipis pada lift barang.
Baut dan mur pada struktur alat yang mengendur.
Kerusakan ini tidak terlihat dalam pemeriksaan visual harian oleh operator. Hanya inspektur ahli yang memiliki peralatan khusus dan kompetensi yang bisa mendeteksinya dalam proses riksa uji.
Ketika kerusakan tersembunyi telah mencapai batas kritis, alat akan gagal berfungsi. Kegagalan ini sering terjadi saat alat sedang memikul beban maksimal atau berada dalam kondisi operasional yang paling menantang. Sebagai contoh, crane yang mengangkat beban terberatnya, tiba-tiba tali slingnya putus karena sudah rapuh. Atau rem forklift yang blong saat menuruni tanjakan.
Kegagalan fungsi pada momen kritis inilah yang berujung pada kecelakaan kerja. Dampaknya bisa fatal: pekerja yang berada di dekat alat menjadi korban, mengalami cedera serius, cacat permanen, atau bahkan kematian. Selain itu, kecelakaan juga menyebabkan kerusakan material yang besar, menghancurkan barang dan infrastruktur.
Mengabaikan riksa uji bukanlah pelanggaran sepele. Konsekuensi yang harus ditanggung sangat berat dan berdampak luas.
Biaya pengobatan dan santunan bagi korban kecelakaan jauh lebih besar daripada biaya riksa uji. Perusahaan juga harus menanggung kerugian akibat rusaknya alat dan barang, serta denda yang dikenakan oleh pemerintah. Belum lagi hilangnya produktivitas karena operasional yang terhenti.
Di Indonesia, peraturan seperti Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja mewajibkan riksa uji berkala. Perusahaan yang terbukti lalai dan menyebabkan kecelakaan bisa menghadapi sanksi hukum berat. Hukuman yang menanti bukan hanya denda, tetapi juga ancaman hukuman pidana bagi pimpinan perusahaan yang bertanggung jawab.
Kecelakaan kerja akibat kelalaian akan menghancurkan reputasi perusahaan. Kepercayaan dari konsumen, investor, dan mitra bisnis akan hilang. Perusahaan akan dicap tidak peduli pada keselamatan pekerjanya, yang bisa berdampak pada kelangsungan bisnis jangka panjang.
Melihat semua risiko di atas, jelas bahwa riksa uji ABAA bukan sekadar kewajiban, tetapi merupakan investasi penting untuk keselamatan, keberlanjutan operasional, dan masa depan perusahaan. Dengan melakukan riksa uji secara rutin, perusahaan tidak hanya mematuhi peraturan, tetapi juga melindungi aset terpenting mereka: pekerja, peralatan, dan reputasi. Jadi, jangan pernah menganggap remeh riksa uji, karena itu adalah benteng pertahanan terakhir dari serangkaian kecelakaan yang mengerikan.